Hukum Kriminal My.Id| Pekanbaru, 25 November 2025 Kematian tragis seorang murid kelas VI SDN 108 Tengkerang Labuai, Pekanbaru, berinisial MA (13), bukan sekadar insiden kekerasan antar-anak, melainkan cermin kegagalan sistemik dalam melindungi anak dari praktik perundungan (bullying) di lingkungan pendidikan. Peristiwa ini yang diduga terjadi pada 13 November 2025 dan berujung pada wafatnya korban pada 23 November menunjukkan bahwa bullying masih dipandang sebagai “kenakalan biasa”, bukan sebagai bentuk kekerasan yang berpotensi fatal dan memerlukan penanganan serius.
Berdasarkan keterangan keluarga dan saksi, korban mengalami kekerasan fisik berulang, termasuk tendangan ke kepala saat belajar kelompok dan pukulan berulang sejak Oktober 2025. Meski sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit akibat insiden serupa, respons institusi pendidikan terkesan minim: laporan dari teman korban hanya direspons dengan “Iya, tunggu”, tanpa tindak lanjut preventif atau perlindungan terhadap korban.
Fakta ini mengungkap celah besar dalam mekanisme pengawasan dan perlindungan anak di sekolah. Bullying seharusnya tidak lagi dilihat sebagai konflik antar-anak yang bisa diselesaikan dengan “maaf-maafan”, melainkan sebagai bentuk kekerasan yang melanggar hak anak atas rasa aman, kesehatan, bahkan nyawa sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Undang-Undang No. 35 Tahun 2014.
Untuk mencegah kejadian serupa, kita berharap pemerintah melalui Dinas Pendidikan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus segera melakukan integrasi program pencegahan bullying ke dalam kurikulum dan budaya sekolah, bukan hanya sebagai materi pelajaran, tetapi sebagai bagian dari sistem tata kelola sekolah yang wajib dilaporkan dan dievaluasi.
Selain itu dapat membentuk unit pengaduan dan respons cepat di setiap sekolah, yang melibatkan guru BK, kepala sekolah, komite sekolah, dan perwakilan orang tua, dengan protokol penanganan yang jelas dan terstandarisasi.
Tak hanya itu, pemerintah harus bisa memastikan pelatihan wajib bagi seluruh tenaga pendidik tentang deteksi dini, penanganan, dan pelaporan kasus kekerasan terhadap anak, termasuk bullying.
Serta, mendorong kolaborasi dengan Dinas terkait serta lembaga perlindungan anak independen untuk memperkuat sistem pelaporan dan pendampingan korban.
Selain itu, sekolah harus diberi kewajiban hukum untuk merespons setiap laporan kekerasan dalam waktu 24 jam, dengan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas jika terjadi kelalaian.
Keluarga korban, yang awalnya enggan menempuh jalur hukum, kini meminta kejelasan melalui pendampingan Tim Advokat Pejuang Keadilan (TAPAK) Riau. Ini menjadi pengingat bahwa masyarakat mulai menuntut akuntabilitas institusi bukan hanya pelaku individu.
Wafatnya MA seharusnya menjadi titik balik. Bukan hanya untuk sekolah di Pekanbaru, tetapi untuk seluruh sistem pendidikan nasional. Anak-anak berhak belajar dalam lingkungan yang aman, tanpa rasa takut. Dan tanggung jawab itu bukan hanya milik guru atau orang tua tapi negara.
Oleh: Muhammad Adrian Perdana, S.IP.,M.Si.,CPM
Dosen
